Jakarta, KOBAR – Mabes Polri dilaporkan telah mulai mengoperasikan Polisi Virtual (Virtual Police) untuk mengawasi konten dunia maya, termasuk di media sosial (Medsos). Virtual Police adalah langkah Polri untuk memoderasi konten negatif, terutama yang mengarah ke tindak pidana.
“Melalui Virtual Police, kepolisian memberikan edukasi dan pemberitahuan bahwa apa yang ditulis ada melanggar pidana, mohon jangan ditulis kembali dan dihapus,” tutur Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Argo Yuwono, dalam siaran pers, Rabu, (24/2).
Dalam menjalankan tugasnya, Virtual Police, jelasnya, mengirimkan peringatan kepada akun yang dianggap melanggar. Tidak subjektif, kata Argo, namun dilakukan setelah melalui kajian mendalam bersama para ahli.
“Apabila ahli menyatakan bahwa ini merupakan pelanggaran pidana, baik penghinaan atau sebagainya. Kemudian diajukan ke Direktur Siber atau pejabat yang ditunjuk di Siber, untuk memberikan pengesahan. Kemudian Virtual Police Alert dikirim secara pribadi ke akun yang bersangkutan secara resmi,” jelas Argo.
Peringatan dikirimkan melalui Direct Message atau DM, karena pihak kepolisian tidak ingin pengguna media sosial tersebut merasa terhina dengan peringatan yang diberikan oleh pihak kepolisian melalui Virtual Police.
“Diharapkan dengan adanya Virtual Police dapat mengurangi hoax atau post truth yang ada di dunia maya. Masyarakat dapat terkoreksi, apabila membuat suatu tulisan atau gambar yang dapat membuat orang lain tidak berkenan. Dan untuk menghindari adanya saling lapor,” jelasnya.
Disisi lain, Argo menepis kekhawatiran beberapa pihak yang menuding, dengan adanya Virtual Police akan mempersempit kebebasan masyarakat di ruang digital.
“Polri tidak mengekang ataupun membatasi masyarakat dalam berpendapat, namun Polri berupaya untuk mengedukasi apabila melanggar pidana. Sampai saat ini sudah ada beberapa akun yang telah diberikan peringatan melalui virtual police,” tutup Kadiv Humas Polri.
Sementara itu, Brigjen Pol Slamet Uliandi, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, membeberkan, bahwa pihaknya telah mulai mengirimkan peringatan virtual ke sejumlah akun media sosial yang mengunggah konten yang berpotensi tindak pidana.
“Per 24 Februari 2021 sudah dikirimkan melalui DM (direct message) sebanyak 12 peringatan virtual polisi kepada akun medsos. Artinya, kita sudah mulai jalan,” beber Slamet.
Ia menjelaskan, bahwa langkah ini sejalan dengan surat edaran Kapolri, Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, tentang kesadaran budaya beretika dalam dunia digital. Salah satu poin surat edaran itu terkait langkah damai di kasus UU ITE, yang harus diprioritaskan penyidik demi dilaksanakannya restorative justice.
Restorative justice, menurut Slamet, telah terdapat dalam program Virtual Police. Yang mana, penindakan itu bersifat ultimum remedium, atau upaya terakhir yang dilakukan kepolisian.
“Setiap harinya Dittipidsiber melakukan patroli siber di media sosial untuk mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoax, serta hasutan di berbagai platform, seperti, di Facebook, Twitter, dan Instagram. Jika ada akun media sosial yang mengunggah konten yang berpotensi tindak pidana, tim patroli siber akan mengirimkan peringatan melalui DM,” tuturnya.
Tim patroli siber ini, lanjut Slamet, telah meminta pendapat ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE sebelum memberikan peringatan virtual ke terduga pelanggar UU ITE. Dengan demikian, peringatan virtual itu dilakukan berdasarkan pendapat ahli, bukan pendapat subjektif penyidik kepolisian.
Selanjutnya, tim patroli siber akan mengirim pesan berupa DM, dalam bentuk peringatan. Di dalam pesan tersebut disampaikan, bahwa konten bersangkutan mengandung pelanggaran atau hoax. Pesan peringatan itu dikirimkan 2 kali ke seseorang yang diduga mengunggah konten hoax atau ujaran kebencian. Dalam waktu 1×24 jam maka konten tersebut harus diturunkan.
Jika postingan di medsos yang diduga mengandung pelanggaran atau hoax tersebut tidak diturunkan pemilik akun, penyidik akan memberikan peringatan kembali. Jika peringatan kedua tetap tidak digubris, maka akan ditingkatkan ke tahap pemanggilan untuk dimintai klarifikasi.
“Tahapan-tahapan strategi yang dilakukan melalui beberapa proses. Pertama, edukasi, kemudian peringatan virtual. Setelah dilakukan peringatan virtual kita lakukan mediasi, restorative justice. Setelah restorative justice baru laporan polisi,” kata Slamet.
Sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber, tambahnya, dilakukan upaya penegakan hukum. Melainkan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice, sehingga terciptanya ruang siber yang bersih, sehat, beretika, produktif dan beragam.
Adapun tindak pidana yang bisa dilakukan dengan cara restorative justice, lanjutnya, misalnya, pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan. Pelaku yang terlibat di kasus tersebut bisa tidak ditahan, karena restorative justice mengedepankan terciptanya keadilan dan keseimbangan antara pelaku dan korbannya.
“Tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan cara restorative justice, yang pertama, pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan. Itu ada di UU ITE Pasal 27 ayat 3, Pasal 207 penghinaan terhadap penguasa, Pasal 310 dan Pasal 311. Terhadap tindak pidana pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan itu tidak akan dilakukan penahanan mulai hari ini, dan dapat diselesaikan dengan cara restorative justice,” demikian Direktur Dittipidsiber Mabes Polri. (knda)
About The Author
Trending di KOBARKSB.com
- 34“1,129 Ton Narkotika Jenis Sabu Jadi Barang Bukti” Jakarta, KOBAR - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dilaporkan berhasil mengungkap sindikat pengedar narkoba jaringan Timur Tengah, yang menguasai sabu sebanyak 1.129 Kg (1,129 Ton), dikendalikan oleh seorang warga negara asing (WNA) berstatus narapidana di Lapas Cilegon, Provinsi Banten. Kapolri, Jenderal Polisi…
Eksplorasi konten lain dari KOBARKSB.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.