Lahir dengan nama Muhammad Athar di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902, kecintaan Muhammad Hatta pada tanah airnya tidak perlu diragukan lagi. Bahkan untuk sebuah cita-cita kemerdekaan, dia berjanji untuk tidak menikah selama Indonesia belum merdeka. Janji ini benar-benar dia tepati. Bung Hatta baru menikah pada 18 Nopember 1945, kala dia telah menginjak usia 43 tahun.
Saking berpegang teguhnya si bung atas janjinya, sampai-sampai ia hampir lupa untuk menikah setelah kemerdekaan republik Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Adalah Sukarno, sahabatnya lah, yang mengatur dan mengurus proses pernikahannya. Bahkan dengan siapa dia akan menikah, Bung Karno lah yang memilih dan melamar buat sahabatnya. Tidak salah kalau gelar “dwitunggal” dijuluki untuk sosok dua sahabat yang telah memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia ini.
Sumpah unik Bung Hatta selalu mengusik Bung Karno. Sehingga sesudah kemerdekaan, Sukarno kembali mendatangi rumah keluarga Rachim di Bandung. Setelah sebelum Indonesia merdeka, Ia sempat datang untuk bertanya ke tuan rumah, “Siapa gadis tercantik di Bandung?.”.
Kali ini Sukarno datang bersama dokter pribadinya, dr Soeharto. Hari telah larut malam. Sang tuan rumah terheran-heran. Sebelum membukakan pintu, Nyonya Rachim meminta dua putrinya, Rahmi dan Raharty, masuk ke kamar. Maklum serdadu Jepang masih berkeliaran meski mereka telah menyerah kepada Sekutu. (Seperti dikisahkan Ny HSSA Rachim, dalam Buku “Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan”.)
“Begini, saya datang mau melamar,” kata Sukarno
“Melamar siapa?,” kata Nyonya Rachim terkejut.
“Melamar Rahmi,” sergah Sukarno.
“Untuk siapa?,” tanya Nyonya Rachim, sambil terheran-heran.
“Untuk teman saya, Hatta,” jawab Sukarno, tenang.
Tuan rumah terkejut bukan main dengan lamaran yang tiba-tiba ini. Nyonya Rachim membatin, Hatta bukanlah sosok sembarangan. Bersama Sukarno, Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
“Mas Karno, mengenai lamaran ini, saya harus menanyakan kepada anak saya dulu. Ia berusia 19 tahun, sehingga saya anggap dia sudah dewasa untuk memutuskan jalan hidupnya sendiri,” kata Nyonya Rachim.
Nyonya Rachim masuk ke rumah. “Siapa yang datang, Mam?,” tanya Rahmi, ketika Nyonya Rachim masuk ke kamarnya.
“Bung Karno. Dia datang untuk melamar kamu,” jawab ibunya.
“Melamar saya?, mahasiswa sinting mana yang mau melamar saya?,” ujar Rahmi.
“Ini bukan mahasiswa. Dia orang baik. Mohammad Hatta,” kata Nyonya Rachim.
Raharty nyeletuk, “Jangan mau Yuke, dia sudah tua.”. Yuke adalah panggilan untuk Rahmi.
Memang saat itu, Hatta telah berumur 43 tahun. Banyak kabar menyatakan, dia memang telat untuk urusan hubungan dengan perempuan. Waktunya habis untuk politik. Sementara, Rahmi baru 19 tahun.
Rahmi ragu-ragu dengan lamaran itu. Dia pun diajak berjumpa Sukarno. “Om, saya merasa takut,” kata Rahmi kepada Sukarno.
“Takut apa?,” tanya Sukarno.
“Saya ini orang bodoh, dia terlalu pandai,” ujar Rahmi.
“Tidak apa-apa. Pokoknya dia orang baik, pemimpin yang baik. Dia sahabat saya yang baik. Kamu tidak akan kecewa, sebab Hatta adalah orang yang berbudi luhur dan mempunyai prinsip yang tegas,” jelas Sukarno.
Rahmi pun akhirnya setuju menikah dengan Hatta. Mereka mengikat janji pada 18 Nopember 1945 di Megamendung, Bogor. Hatta memiliki villa di sana, pemberian pemerintahan militer Jepang. Sukarno menjadi saksi pernikahan.
Bukan emas atau peralatan shalat sebagai mas kawin. Hatta memberikan buku “Alam Pikiran Yunani” sebagai mahar. Semula, bahan dasar buku ini merupakan materi kursus Bung Hatta untuk sesama tahanan politik di Digul dan Banda Neira.
Kelak, pasangan ini dikarunia tiga putri: Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.
– Dinukil dari Buku “Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan”.
About The Author
Eksplorasi konten lain dari KOBARKSB.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
Komentar