Oleh: Hendry Kusnadi
Tanpa bermaksud melampaui atau bahkan sengaja mendukung terhadap gugatan yang dilakukan oleh beberapa pengurus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) kepada Mahkamah Konstitusi (MK), terkait beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yang prosesnya sedang berjalan telah hampir setahun ini.
Namun sembari menunggu putusan hukum tetap dan mengikat, tak ada salahnya untuk menganalisis tentang kekurangan-kekurangan yang ada dalam sistem pemilu proporsional terbuka yang barangkali dapat dijadikan alasan yuridis bagi para pihak terhadap kemungkinan diberlakukannya sistem pemilu proporsional tertutup yang saat ini sedang menjadi trending topic di media cetak, media televisi, dan terutama media sosial.
Perubahan dalam sebuah demokrasi konstitusional adalah bagian dari suatu proses yang sangat penting untuk memastikan perlindungan, dan pemajuan prinsip-prinsip demokrasi yang berkelanjutan. Ketika perubahan dibuat untuk mendukung proses demokrasi, maka perubahan tersebut berkontribusi pada ketahanan sistem demokrasi itu sendiri.
Selama perubahan ini dilakukan melalui proses yang transparan, inklusif, dan partisipatif yang menghormati norma-norma konstitusional dan nilai-nilai demokrasi, maka perubahan tersebut diperlukan untuk kelangsungan fungsi dan pertumbuhan demokrasi konstitusional kita. Dan perubahan yang yang dimaksud adalah perubahan dari sistem proporsional terbuka kepada sistem proporsional tertutup.
Dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017, tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) ini bisa dijelaskan bahwa proses pemungutan suara, dan penghitungan suara serta rekapitulasi suara adalah proses yang rumit, melelahkan dan sangat berpotensi kepada kesalahan. Proses pemungutan suara di mana harus memilih calon, dengan daftar nama, sangat berpotensi menyebabkan suara tidak sah.
Bisa dilihat pada pemilu 2019 lalu, jumlah suara tidak sah mencapai 17.503.953 atau setara 11,12%. Proses penghitungan suara juga terkena dampak akibat pilihan sistem proporsional terbuka. Proses penghitungan yang memakan waktu lama karena harus menghitung dan mencatat nomor calon atau nomor partai dan meletakkan pada kolom yang benar.
Potensi manipulasi suara rentan terjadi pada proses penghitungan suara dalam proses pencatatan pada kolom nama calon atau nama partai. Dalam proses rekapitulasi, persoalan yang sering terjadi TPS pada saat rekapitulasi adalah perpindahan suara dari satu calon kepada calon lain dalam satu partai.
Persoalan yang sering terjadi dalam suatu pemilu adalah tingginya politik uang. Dalam Pemilu 2019, terdapat sebanyak 69 putusan pengadilan terkait pelanggaran pidana politik uang (Kompas- edisi Des.2019). Bahkan beberapa literatur, baik yang ditulis para ilmuwan dari dalam atau luar negeri, bagaimana politik uang merusak proses pemilu yang sedang terjadi. Dan perubahan melaksanakan pemilu dengan sistem proporsional tertutup, menjadi salah satu cara yang efektif untuk menghilangkan politik uang dalam proses pemilu.
Bila dicermati lebih jauh, sistem pemilu proporsional terbuka melemahkan pelembagaan organisasi partai politik (parpol) di negara demokrasi. Bentuk pelemahan pelembagaan parpol dari bangunan sistem proporsional terbuka, antara lain calon anggota legislatif (caleg) yang terpilih dalam pemilu tidak berperilaku dan bersikap terpola untuk menghormati lembaga parpol, karena merasa yang menentukan terpilihnya bukan melalui organisasi parpol melainkan berbasis suara terbanyak.
Selanjutnya, cukup beralasan juga bila dalam praktik penyelenggaraan Pemilu legislatif tahun 2009, 2014, dan 2019 di Indonesia, bila dicermati tidak sesuai kehendak konstitusi sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, karena peserta pemilu bukan parpol melainkan individu atau caleg. Organisasi Parpol kehilangan perannya secara signifikan dalam sistem pemilu proporsional terbuka.
Pada sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini berdampak pada pemilu yang hanya bergantung pada figur atau kandidat (candidate-centered politics). Sehingga pemilih dalam memilih lebih mempertimbangkan pada caleg yang populer dan bermodal uang.
Dalam praktiknya kendati Parpol diberi kewenangan melakukan perekrutan caleg dan menempatkan ke dalam nomor urut, namun hanya bersifat formalitas belaka karena caleg yang ada di nomor urut tersebut tidak secara otomatis dapat terpilih dalam Pemilu, juga mendorong parpol untuk berlomba-lomba merekrut caleg yang memiliki modal dana yang besar dan popular agar dipilih oleh pemilih bukan merekrut caleg berdasarkan pada ikatan ideologi dan struktur partai politik, dan memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.
Akibatnya, saat caleg terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik, namun mewakili dirinya sendiri. Selain itu, sistem pemilu proporsional terbuka telah menjadi penyebab utama mengapa caleg memiliki sikap yang tak loyal pada organisasi parpol, karena caleg merasa parpol hanya kendaraan dan yang menentukan keterpilihannya adalah pemilih bukan organisasi parpol. Akibatnya berdampak pada krisis kewibawaan organisasi parpol. Melemahkan partisipasi masyarakat untuk menjadi pengurus partai politik. Akibatnya partai politik tidak menjalankan fungsinya sebagai organisasi yang bersifat ideologis dan organ pengkaderan calon pemimpin politik.
Selain itu, telah menimbulkan individualisme para politisi yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu.
Mestinya kompetisi terjadi antar partai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu pun juga ketika mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks.
Sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi, sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota.
Dan yang terakhir, sistem proporsional terbuka dinilai menciptakan model kompetisi antar caleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara.
Meskipun sebaliknya, dengan sistem pemilu proporsional tertutup bukan berarti tidak punya kekurangan bahkan malah ruang bagi oligarki politik dan jual beli nomor urut lebih terlihat. Akan tetapi setidaknya sistem pemilu proporsional tertutup lebih memberi harapan bagi upaya penyempurnaan menuju pemilu yang bersih, jujur, dan adil.
Nah, bila kita berharap Pemilu 2024 dan seterusnya akan dapat mengurangi praktik politik uang, maka sistem pemilu proporsional tertutup adalah salah satu jawabannya.
– Penulis adalah Peneliti pada Komunitas Kajian Kebijakan Publik (K2P)
About The Author
Trending di KOBARKSB.com
- 76Taliwang, KOBARKSB.com - Ribuan pendukung dan simpatisan Partai Amanat Nasional (PAN) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) padati jalan raya menuju kantor KPU KSB untuk mengantar 25 bakal calon legislatif. Ketua DPD PAN KSB, M Nasir, kepada awak media, Jum’at, (12/5), menyampaikan, bahwa PAN merupakan partai kelima yang mendaftarkan bakal calegnya dan…
- 70Taliwang, KOBARKSB.com - Sejak dilantik menjadi Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) pada tahun 2021, Harta Kekayaan Amar Nurmansyah diketahui bertambah dari Rp 1.884.266.692 menjadi Rp 2.155.466.520 (LHKPN, 31 Desember 2022). Pada saat menjabat Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan pada tahun 2020, Amar Nurmansyah melaporkan harta kekayaannya kepada Komisi…
- 69Mataram, KOBARKSB.com - KPU Provinsi NTB dilaporkan telah mulai menata Daerah Pemilihan (Dapil) dan alokasi kursi Anggota DPRD NTB untuk Pemilu Tahun 2024. Hal ini dilakukan berdasarkan ketentuan PKPU Nomor 6 Tahun 2023, tentang Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2024. Untuk…
- 69Taliwang, KOBARKSB.com - Perhelatan Pilkada Kabupaten Sumbawa Barat 2024 semakin dekat. Genderang politik telah ditabuh, dan para calon pemimpin daerah bersiap untuk merebut hati rakyat. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumbawa Barat pun telah menetapkan jadwal pendaftaran bakal pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, menandai tahap krusial dalam proses demokrasi…
- 67Taliwang, KOBARKSB.com - Buntut dari rekrutmen PPK dan PPS, seorang oknum Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Bawaslu, karena diduga telah melanggar kode etik pada proses seleksi dan penetapan anggota PPK dan PPS Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024. “Saudara…
- 67Taliwang, KOBARKSB.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dilaporkan telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu Serentak 2024 sebanyak 102.422 orang. “Berdasarkan hasil pleno kita, DPT KSB untuk Pemilu Serentak tahun 2024 sebanyak 102.422 orang. Ada penambahan 93 orang dari Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP),”…
Eksplorasi konten lain dari KOBARKSB.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.