Sosok pria berperawakan sedang itu tampak tengah menekuri mushafnya di koridor utara Masjid Salman, Bandung. Sepintas, lelaki bernama Nur Rahman Hakim (32 tahun) itu tampak seperti jamaah kebanyakan yang sedang mengisi waktu sehabis Ashar dengan mengaji.
Ketika diajak berbicara, lisan sarjana syariah lulusan Madinah, Arab Saudi itu pun fasih melafalkan ayat-ayat Alquran. Namun bila dicermati, ada sedikit tekanan khas orang dari Indonesia bagian timur dalam suaranya tiap kali Nur melafalkan bunyi ‘e’.
Kulit yang kecoklatan dan gurat wajah tegas pun menyiratkan bahwa muasalnya dari daerah jauh. ‘’Tadinya nama saya Thomas Consesao,’’ kata pria kelahiran Timor Leste itu. Nama itu dia emban selama belasan tahun, sebelum hijrah menjadi seorang Muslim.
Awal proses Nur berhijrah tidak istimewa. Dia pun tidak ingat persis tanggal ketika mengucap syahadat untuk pertama kali. ‘’Masuk Islam waktu SMP, itu 1992 atau 1993,” ucapnya sembari mencoba mengenang. Waktu itu, Pemerintah Indonesia tengah menggelar operasi militer di provinsi ke-27 itu.
TNI menginstruksikan agar semua penduduk Timor Timur melakukan registrasi ulang agama. Nur remaja yang suka mencoba hal baru ini mengusulkan kepada ayah, ibu, dan saudara-saudaranya untuk ‘mencoba’ mendaftarkan diri sebagai penganut Islam.
Usulannya diterima tanpa banyak pertimbangan, walaupun mereka bisa saja kembali mencantumkan agama lama sebagai identitas. Semula, keluarganya memeluk Katolik, namun juga masih kental mempraktikkan animisme setempat.
Sebelum operasi militer, Nur menyebut, tidak ada pribumi Muslim di Los Palos, ibukota kabupaten di daerah timur Pulau Timor. Identitas Islam baru diperkenalkan secara luas lewat para tentara yang bertugas di sana. Selain itu, Nur pun mengasosiasikan sosok muslim dengan Soeharto yang fotonya terpampang di ruang kelas.
‘’Muslim itu presiden, jadi hebatkan,” katanya sambil terkekeh. Akhirnya, keluarga Consesao ikut dalam barisan ratusan mualaf yang mengucap syahadat dibimbing Ustaz Subhan di Masjid At-Taqwa, Los Palos. Sadar pengetahuan agamanya masih cetek, Nur rajin mengaji saban hari ke satu-satunya masjid yang ada di Los Palos itu.
Dia bersemangat melangkahkan kaki ke masjid dari rumahnya di Desa Natura, walau jaraknya terpisah tiga kilometer. Rutinitas ini berlangsung sekitar tiga tahun. Di masa itu, ibadah Nur belum sempurna. Karena belum paham bahwa sembahyang harus lima waktu sehari, dia hanya rutin menunaikan Shalat Maghrib dan Isya.
Membaca Alquran pun tertatih karena belum ada sistem belajar modern seperti Metode Iqra. Walau demikian dia sering menyimak ceramah untuk menambah pengetahuan agama. Pada suatu malam yang gelap pekat, hidayah itu menghampiri Nur. Gambaran nyata kiamat, yang kerap dia dengar dalam ceramah, hadir dalam detail yang terinci di hadapannya.
Waktu itu, dia duduk di kelas III SMP. Dalam mimpi itu, dia menangis ngeri sejadi-jadinya kemudian terbangun. “Saya dapati diri nangis, selimut saya basah.” Setelah itu, dia berazzam akan belajar Islam dengan sungguh-sungguh.
Teknik mengaji dengan sistem baghdadi yang rumit dia lahap segera. Dalam waktu empat bulan, Nur pun membabat habis hafalan Juz Amma. Dia pun menyabet gelar juara kedua lomba tahfiz se-Los Palos yang diadakan untuk memeriahkan Ramadhan.
Imam At-Taqwa saat itu, Ustaz Rohim terkesan dengan prestasi pemuda Nur dan menghadiahinya kesempatan menimba ilmu ke luar Timor. Berangkatlah Nur ke Pondok Pesantren Al-Ikhlas, Taliwang, Sumbawa, dengan menumpang kapal selama dua hari dua malam. Di pondok yang terafiliasi dengan Pondok Modern Gontor ini, dia memuaskan hasratnya mempelajari agama di lingkungan yang mendukung.
Setelah lulus pada 1999, dia merantau ke ibukota negara untuk melanjutkan pendidikan di program studi Tarbiyah di Universitas Muhammadiyah, Jakarta. Di masa kuliahnya inilah situasi politik di Bumi Lorosae memanas. Timor Timur memerdekakan diri, bersalin nama menjadi Timor Leste. Sebagian kerabat Nur mengungsi ke perbatasan.
Komunikasi Nur dengan keluarganya terputus, dukungan keuangan pun tanda tanya. Di tengah ketidak jelasan itu, dia melamar kesempatan belajar Syariah di Universitas Islam Madinah semata untuk mencari sekolah gratis.
Tadinya Nur pesimis pintu ilmu ke Tanah Haram akan terbuka baginya. Betapa tidak. Pelamar beasiswa penuh itu jumlahnya ribuan. Ternyata, namanya tertera sebagai penerima beasiswa pada urutan ke-29 dari 30 kursi yang tersedia. Sambil bercerita, dia menyitir ayat-ayat penghujung Surat Luqman, ‘’Tidak ada yang tahu apa yang bakal terjadi.’’
Singkat kata, pada 2002 dia pun berangkat berguru ke Tanah Haram. Selama Nur berada di Madinah, banyak perubahan terjadi. Ayahandanya wafat pada 2007, menyusul ibundanya yang meninggal saat Nur remaja. Tiga adiknya yang memilih keluar dari Timor Leste kini tinggal terpencar karena ikut program transmigrasi, sementara satu lagi bertahan di Los Palos.
Masjid At-Taqwa masih berdiri, namun tak berimam karena Ustaz Rohim kembali ke Kupang pasca disintegrasi. Nur memilih bermukim di Bandung setelah tuntas sarjananya. Dia mengajar Bahasa Arab di Ma’had Al-Imarat, selain pernah aktif dalam kepengurusan Yayasan Pembina Masjid Salman ITB.
Sebenarnya, pria yang kini berputra dua dari Wida Fitrotul Hasanah itu ingin kembali ke kampung halaman untuk berdakwah. Apalagi, kondisi Muslim Los Palos makin morat-marit setelah tak punya dai. Namun, Nur belum berani terjun ke sana seorang diri karena pertimbangan lingkungan yang tidak mendukung tumbuh kembang kedua buah hatinya yang masih balita.
‘’Sesoleh-solehnya orang kalau lingkungan tidak mendukung, susah,’’ tuturnya. Terlebih, kebiasaan masyarakat Timor yang akrab dengan minuman keras, berjudi, dan menyabung ayam sudah berkerak menjadi adat.
Dia menuturkan, dia tak sanggup bertahan lama ketika terakhir kali mudik ke Natura sebelum berangkat ke Madinah. Tak genap sebulan, dia segera mengemasi barang dan buru-buru pamit karena khawatir terbawa pergaulan buruk.
Ia memiliki rencana untuk pulang kampung dan berdakwah di Timor Leste. ‘’Bila suasana sudah tenang dan kondusif.’’ Demikianlah, karena seperti lanjutan penutup Surat Luqman yang tadi dikutipnya, tak seorang pun tahu di bumi mana ajal akan menjemput.
Kepulangan Nur Rahman Hakim ke Los Palos pada 2002 berbeda dengan mudik sebelumnya. Untuk pertama kalinya, dia harus mengurus visa untuk masuk ke tanah kelahiran sendiri. Disintegrasi Timor Timur dari Indonesia menorehkan kesan mendalam bagi komunitas Muslim di Bumi Lorosae yang porsinya sekitar sepuluh persen dari total penduduk.
Setelah berdiri sendiri sebagai Timor Leste, penyelenggaraan Shalat Jumat jadi masalah besar bagi Muslim Los Palos yang sedikitnya berjumlah 33 kepala keluarga. Karena nihil dai yang bermukim di sana, tak ada yang mampu menjadi khatib. Yang didapuk menjadi imam pun, membaca Alfatihah dan surat pendek dengan terbata-bata.
Padahal menurut Nur, mayoritas pengungsi pro-Indonesia merupakan Muslim. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, bahkan sebagian mereka mau ditransmigrasikan ke berbagai daerah di Indonesia demi komitmen terhadap Pancasila. Bisa dibilang, ada kedekatan emosional yang terbentuk di kalangan Muslim Timor Timur dengan Indonesia.
Di mata Muslim Timor Timur, citra saudara sesama Islam hadir lewat sosok tentara yang membantu dan melindungi masyarakat dari kelompok pemberontak. ‘’Lewat merekalah (tentara) masuk Islam ke Timor Timur, jadi ada hubungan batin,’’ kata pria yang leluhurnya berasal dari Desa Luro, sekitar 150 kilometer dari Los Palos.
Dalam urusan politik pun, identitas keislaman bisa menjadi asosiasi dengan keberpihakan individu. “Orang pro-Indonesia yang yang non-Muslim, melihat kita yang Muslim sudah yakin kita pro-Indonesia,’’ kata Nur. Secara visual, Muslim di Timor Timur bisa dibedakan lewat atribut seperti kopiah atau sarung maupun bekas wudhu.
Menjadi golongan minoritas di Timor Timur, Nur menerangkan, justru menggelorakan semangat beribadah umat Muslim yang tidak dia jumpai di tempat dia bermukim, seperti Sumbawa. Padahal, mayoritas masyarakat di daerah tersebut memeluk Islam. ‘’Di Timor, ghirah kita kuat. Ingin tampilkan agama kita begini,’’ paparnya.
Bahkan Nur dan kawan-kawannya ketika masih remaja selalu datang ke masjid setiap hari untuk belajar agama dan shalat berjamaah. Padahal, dari kampungnya ke Masjid At-Taqwa yang berjarak tiga kilometer itu harus melalui banyak pekuburan. Dari lahan-lahan sepi itu, bahaya seperti serbuan gerombolan pemberontak kerap mengintai.
Kehangatan hubungan antara muslim Timor Timur dengan para tentara, dicontohkan Nur dalam syiar di malam takbiran. Seperti kelaziman di tempat lain, semalam sebelum Idul Fitri maupun Idul Adha, Muslim menggelar takbiran keliling. “Kita takbiran sama tentara, walau cuma 20 orang. Dilihat orang Kristen kan aneh,” dia bercerita sambil berseri. ***